Minggu, 27 Mei 2012

MENGUAK AYAM JAGO SANG SULTAN MAULANA HASANUDIN




Penasehat Sultan Maulana Hasanudin
  •  Cili Mandira, dimakamkan. di Kampung Panyunan Banten
  •  Cili Glebeg, dimakamkan di seberang Karangantu Banten
  •  Cili Kored, dimakamkan di Gunung Santri Banten
  •  Cili Wulung, dimakamkan di Kresek Tangerang Banten
Penyiaran agama Islam di Banten yang dilaksanakan Sultan Maulana Hasanudin mendapat tantangan dari Kerajaan Sunda Pajajaran, dibawah pimpinan Pucuk Umun. penentangan Kerajaan Sunda Pajajaran, ini dikarenakan Sultan Maulana Hasanudin cukup berhasil menyebarkan agama baru ( Islam ) di Banten sampai bagian selatan Gunung Pulo Sari  ( Gunung Karang ), Pulau Panaitan Ujung Kulon. keberhasilan ini mengusik Prabu Pucuk Umun yang semakin kehilangan pengaruh, sehingga ia menantang Sultan Maulana Hasanudin untuk bertarung dengan cara mengadu ayam jago, dan sebagai taruhannya : yang kalah akan dipotong lehernya ! Tantangan Prabu Pucuk Umun disambut oleh Sultan Maulana Hasanudin, setelah ia bermusyawarah dengan pengawalnya, yakni Syeikh Muhammad Sholeh. Dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa yang aka bertarung adalah Syeikh Muhammad Sholeh sendiri, dengan cara menyerupai ayam jago seperti layaknya ayam jago biasa hal ini terjadi karena karomah atau kelebihan ilmu yang dimilikinya & atas dasar izin Allah SWT.


Pertarungan dua ayam jago tersebut berlangsung seru. Namun akhirnya pertarungan itu dimenangkan oleh jagonya Sultan Maulana Hasanudin. Setelah pertarungan selesai, Sultan Maulana Hasanudin membawa jagonya pulang ke banten, yang akhirnya jago itu berubah bentuk menjadi manusia, sosok Syeikh Muhammad Sholeh.


Akibat kekalahan yang dialami oleh Prabu Pucuk Umun dalam pertandingan "adu jago", ia tidak tinggal diam untuk menyerah, namun tetap ia mengambil langkah berikutnya, sehingga ia menyatakan perang. Pernyataan perang ini pun ditanggapi oleh Sultan Maulana Hasanudin. Memang Prabu Pucuk Umun dasarnya lagi naas, apapun yang ia lakukan mendapat kegagalan, kalah dalam pertempuran melawan Sultan Maulana Hasanudin, bersama Syeikh Muhammad Sholeh. Pasukan Pajajaran mundur ke arah selatan, bersembunyi di Pulo Sari Rangkasbitung Kab. lebak, dan mereka itu sekarang dikenal dengan Suku Baduy.


Kemenangan dalam pertempuran ini membuat Sultan Maulana Hasanudin lebih giat menyusun strategi & program perjuangan untuk menyebarkan agama Islam di Banten. Pusat kegiatan dakwah & politiknya ditempatkan di Istana Surosowan. sedangkan sang pengawal Syeikh Muhammad Sholeh, ia pulang ke markasnya Gunung Santri. Kedatangan Syeikh Muhammad Sholeh ke Gunung Santri ini mengemban tugas sebagai mubaligh untuk menyebarluaskan ajaran agama Islam di sekitarnya. Metode yang digunakan Syeikh Muhammad Sholeh dalam berdakwah menggunakan pendekatan persuasif, sehingga setiap orang didatanginya merasa puas & bersedia mengikuti ajakan untuk memeluk ajaran Islam secara sukarela.




Referensi :

  • Buku sejarah Gunung santri keluaran bojonegara kabupaten Serang.
  • Cerita langsung dari masyarakat Gunung santri 

Sabtu, 26 Mei 2012

GUNUNG SANTRI












Berawal dari perjuangan Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang pernah merencanakan berdirinya kerajaan Islam, dengan dibuktikan atas berdirinya negara baru di Demak, dan sekaligus berdirinya Masjid Agung Demak pada tahun 1479. Beliau juga mendirikan Pondok Pesantren sebagai sarana penggemblengan para kader yang kelak melanjutkan perjuanganya. Salah satu kader atau santri Sunan Ampel adalah Syeikh Muhammad Sholeh.


Setelah Syeikh Muhammad Sholeh selesai menimba ilmu pada Sunan Ampel, beliau melanjutkan perjuangannya untuk menemui Sultan Syarif Hidayatullah (ayah Sultan Maulana Hasanudin) di Cirebon. Atas perintah Sultan Syarif Hidayatullah pada waktu itu penguasa cirebon. Syeikh Muhammad Sholeh berangkat ke Banten untuk mencari putra sang guru, yakni Sultan Maulana Hasanudin yang telah lama meninggalkan cirebon tanpa sepengetahua orang tuanya. Perjalanan ke Banten sambil berda'wah kepada masyarakat Banten, yang pada waktu itu masih beragama Hindu di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran yang di pimpin oleh Prabu Pucuk Umun, dengan pusat pemerintahannya di Banten Girang


Sesuai dengan tujuannya berkat ketelatenannya akhirnya bertemulah putra penguasa Cirebon itu di Gunung Lempuyang di dekat kampung Merapit Desa Ukirsari Kec.Bojonegara, terletak di sebelah barat dari kota kecamatan. Diketemukannya Sultan Maulana Hasanudin dari gunung itu beliau sedang bermunajat kepada Allah SWT. Setelah itu Syeikh Muhammad Sholeh memberitahukan kepada Sultan Maulana Hasanudin mengenai kedatangannya bahwa sebenarnya ia disuruh oleh orangtuanya ( Sultan Syarif Hidayatullah) untuk ke Cirebon. Namun rupanya Sultan Maulana Hasanudin tidak mau dibujuk untuk pulang ke Cirebon, karena masih ingin tetap melanjutkan munajatnya, dan Syeikh Muhammad Sholeh akhirnya kembali ke Cirebon melaporkan kepada Sultan Syarif Hidayatullah, atas pertemuannya dengan Sultan Maulana Hasanudin. Rupanya laporan Syeikh Muhammad Sholeh itu tidak memuaskan harapan Sultan Syarif Hidayatullah, sehingga Syeikh Muhammad Sholeh diajak kembali bersama-sama mengunjungi Sultan Maulana Hasanudin di Gunung Lempuyang. Misi keberangkatan Sultan Syarif Hidayatullah bersama Syeikh Muhammad Sholeh ke banten menuju gunung lempuyang dalam rangka membujuk Sultan Maulana Hasanudin agar kembali ke Cirebon.


Sebelum pulang ke Cirebon, Sultan Syarif Hidayatullah menghendaki perjalanan itu lewat laut, tetapi Sultan Maulana Hasanudin menyarankan agar lewat darat dengan pertimbangan khawatir akan terjadi badai & tofan yang mengakibatkan bahaya. Dan dalam silang pendapat itu akhirnya Sultan Syarif Hidataullah tetap kukuh terhadap pendiriannya untuk pulang melalui laut. Kepulangan Syarif Hidayatullah ke Cirebon diantar keberangkatannya oleh sultan Maulana Hasanudin bersama Syeikh Maulana Sholeh dari pantai. Pulau Majeti ( atau Tanjung Watu Abang). Sultan Maulana Hasanudin  & Syeikh Muhammad Sholeh tidak ikut berangkat ke Cirebon, mereka tetap menunggu di pantai. Kekhawatiran Sultan Maulana Hasanudin atas keberangkatan ayahnya lewat laut ternyata menjadi kenyataan. Belum lama mereka menunggu terdengar suara gemuruh & tofan dari arah timur, dimana Sultan Syarif Hidayatullah sedang melintasi lautan (teluk Banten) menuju Cirebon. Keadaan demikian Sultan Syarif Hidayatullah ragu-ragu untuk melanjutkan perjalanannya. Akhirnya ia singgah di salah satu pulau, yang sekarang dinamakan Pulau Tunda. Setelah badai & tofan mereda, Sultan Syarif Hidayatullah memilih untuk kembali ke tempat asal, keberangkatan menemui putranya & Syeikh Muhammad Sholeh, yang masih setia meunggu.


Peristiwa itu diceritakan kepada anaknya (Sultan Maulana Hasanudin) atas musibah yang terjadi & membenarkan terhadap perkiraan cuaca yang pernah disampaikan sebelum ia berangkat. Akhirnya Sultan Syarif Hidayatullah memberikan gelar kepada putranya itu dengan sebutan Pangeran Sandang Lautan. Setelah itu,, kesepakatan bahwa keberangkatan berikutnya akan dilaksanakan melalui jalan darat. Berangkatlah mereka menuju Cirebon, namun di tengah jalan, Syeikh Muhammad Sholeh mohon pamit untuk memisahkan diri, ia ingin menetap di Gunung Santri guna meneruskan perjuangannya dalam menyiarkan agama Islam di Pantai Utara.




Referensi 

  • Buku GUNUNG SANTRI WISATA RELIGIUS
  • Cerita dari penduduk setempat kepada saya ( admin blog nurussyafa'ah ) yang mengetahui asal-usul Gunung Santri